Mengenai Saya

Foto saya
Hidup harus dijalani dengan apa adanya

Senin, 26 April 2010

BAHASA YANG BAIK DAN BENAR SEBAGAI CERMIN POLA PIKIR PENUTUR TERHADAP BAHASANYA

Kasman, M. Hum.

Bahasa bukan saja sebagai alat komunikasi melainkan bahasa dapat menjadi ciri suatu komunitas bahkan individu. Ciri khas suatu kelompok dalam berbahasa baik lisan maupun tulis biasa kita kenal sebagai suatu variasi yang termanifestasi melalui tuturan atau tulisan individu (anggota suatu kelompk tertentu).

Sehubungan dengan hal itu, terpilihnya bahasa Melayu sebagai bahasa nasional sekaligus sebagai bahasa negara pada tanggal, 28 Oktober 1928 tentunya atas pertimbangan bahwa bahasa Melayu pada saat itu termasuk pada tataran ragam tinggi (lih. Lapoliwa, 2002:1).

Pemilihan bahasa Melayu seperti yang dipaparkan di atas, mengisyaratkan bahwa di samping bahasa Melayu ragam tinggi, terdapat pula bahasa Melayu ragam sedang dan rendah. Bahasa ragam tinggi dalam hal ini mengacu pada bahasa ragam baku, sedangkan bahasa ragam sedang dan rendah mengacu pada bahasa nonbaku. Ragam bahasa baku sangat identik dengan ragam bahasa yang digunakan oleh kaum terpelajar karena pada dasarnya ragam bahasa kaum terpelajarlah yang kemudian dijadikan titik tolak pengembangan bahasa baku. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Wahab, (1990:1) bahwa Kaum Sofia pada abad kelima sebelum Masehi mempelajari pidato-pidato yang diucapkan oleh para ahli pidato dan mencatat unsur-unsur kebahasaan yang ada pada pidato itu. Setelah hal itu dilakukan, kemudian mereka menasihati murid-murid mereka yang terdiri atas calon-calon ahli Filsafat, Retorika, dan Politik agar menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat yang digunakan oleh para ahli pidato tadi. Dengan demikian, model berbahasa yang baik dan benar adalah model berbahasa yang digunakan oleh para ahli pidato saat itu.

Baik dan benarnya suatu bahasa tentu terpulang pada wujud lisan dan tulis. Bahasa yang baik dan benar dapat dilihat pada berbagai aspek kebahasaan, seperti fonologi (bunyi bahasa), morfologi (bentuk kata), dan sintaktis (bentuk kalimat). Kesalahan berbahasa dalam hubungannya dengan ketiga aspek kebahasaan itu memiliki dua bentuk, yakni: salah karena tidak tahu (error) dan salah karena kekeliruan (slip). Bentuk kesalahan yang kedua tentu masih dapat dimaklumi dan tidak relevan dengan permasalahan yang diketengahkan pada tulisan ini. Sementara itu, bentuk kesalahan yang pertama tergolong sebagai permasalahan yang merisaukan kita karena hal itu mengancam kepunahan bahasa Indonesia. Selain itu, kesalahan yang pertama dapat pula mengakibatkan rusaknya informasi yang dikandung oleh sebuah tuturan.

Kesalahan (error) dan kekeliruan (slip) pada dasarnya disebabkan oleh beberapa hal, seperti: adanya pengaruh bahasa pertama (bahasa ibu), kurangnya sikap positif penutur terhadap bahasanya, dan adanya pengaruh bahasa asing yang dianggap lebih bergengsi. Ketiga faktor ini pada akhirnya akan memanifestasikan sebuah pemikiran pembicara atau penulis terhadap bahasa dan fenomena yang dikandung oleh bahasa itu.

Contoh kasus yang pertama dapat kita lihat pada sebuah kalimat imbauan pada setiap bungkusan rokok yang berbunyi Merokok dapat meyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin. Apabila dianalisis, kalimat ini memberi gambaran bahwa terdapat gangguan kehamilan yang tidak berdampak pada janin, sebaliknya ada gangguan janin yang tidak berdampak pada kehamilan. Jika demikian pesan yang ingin disampaikan, mengapa kata sambung (konjungsi) dan yang dipilih untuk menghubungkan komponen gangguan kehamilan dan komponen janin, sementara sebelum konstituen gangguan kehamilan, kata sambung yang sama telah digunakan. Penggunaan satu kata sambung dalam kalimat yang sama dapat memberi gambaran bahwa ada ketidakcermatan penggunaan bahasa. Ketidakcermatan berbahasa mengisyaratkan pula ketidakcermatan di dalam berpikir.

Contoh kasus yang kedua dapat kita lihat pada papan iklan yang berbunyi Beli honda di krida discountnya terasa! Kesalahan kalimat ini terletak pada kata discountnya. Kesalahan ini bisa terjadi karena disengaja atau bisa terjadi karena penulis tidak tahu bahwa kata discount telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi diskon. Apabila kesalahan itu disengaja, berarti penulis belum memiliki sikap positif terhadap bahasanya (bahasa Indonesia) karena penulis masih menganggap bahwa bahasa Inggris lebih layak digunakan dibandingkan bahasa Indonesia. Apabila hal itu disebabkan oleh ketidaktahuan penulis, kesalahan yang terjadi tentu masih dapat diberi toleransi.

Contoh kasus yang ketiga dapat kita dengar penggunaan kata aku dalam sinetron televisi. Kesalahan yang terjadi dalam hal ini berkaitan dengan pemilihan kata. Kata aku secara kontekstual harus digunakan oleh pembicara yang sebaya dengan mitra wicaranya. Apabila kata aku digunakan oleh seorang murid pada gurunya, berarti murid tadi tidak cermat dalam memilih kata. Dengan demikian, secara sosial, murid tadi telah melanggar norma-norma sosial masyarakat Indonesia.

Dari ketiga contoh kasus di atas, dapat kita simpulkan bahwa berbahasa tidak hanya sekadar berkomunikasi, tetapi berbahasa sesungguhnya melibatkan fenomena-fenomena sosial yang pada akhirnya menggambarkan pola pikir penuturnya.

MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA BUKAN SUATU KEMUNDURAN

Kasman, M.Hum.

Bahasa adalah lambang yang mencirikan suatu etnis, negara/bangsa. Sebagai suatu ciri, bahasa layaknya bendera yang sanggup menumbuhkembangkan rasa kebersamaan dan persaudaraan dalam bingkai kesukuan dan nasionalisme.

Dalam hubungannya dengan hal di atas, kemerdekaan bangsa ini tentu tidak lepas dari peranan bahasa Melayu yang diikrarkan sebagai bahasa persatuan pada saat itu. Akan tetapi, bahasa yang membawa kita pada gerbang kemerdekaan ini seolah tidak mendapat tempat di hati kita dalam era globalisasi ini. Hal itu terbukti dengan semakin maraknya penggunaan bahasa asing pada setiap sendi kehidupan bangsa. Bukan hanya itu, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia mengungkapkan bahwa larangan penggunaan bahasa asing di ruang publik dinilai sebagai suatu kemunduran dan merepotkan bagi kalangan pengusaha, terutama dalam kaitannya dengan pembentukan pencitraan (brand image) mereka kepada konsumen (lih. Kompas, 14 Januari 2006).

Pernyataan Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia di atas telah terbit pada tahun lalu, tetapi pernyataan itu sengaja penulis kemukakan kembali karena sikap bahasa yang berkembang di Nusa Tenggara Barat setakat ini hampir sama dengan sikap yang tertuang dalam pernyataan di atas. Selain itu, tulisan ini diharapkan dapat menjelaskan tulisan saya terdahulu dalam kaitannya dengan alasan logis mengapa kita harus berbahasa yang baik dan benar.

Imbauan penggunaan bahasa Indonesia di tempat umum sebagai upaya pelestarian, pengembangan, dan pembinaan bahasa Indonesia bukan dimaksudkan untuk mematikan keinginan dan kreativitas masyarakat mempelajari dan menggunakan bahasa asing melainkan setiap warga negara diarahkan pada ketertiban dalam pamakaian bahasa. Dengan demikian, kita dituntut agar dapat menyesuaikan penggunaan bahasa pada konteksnya masing-masing. Ketertiban pemakaian bahasa dalam hal ini telah disadari oleh para pejuang kemerdekaan bangsa ini. Hal itu dipertegas oleh Sugono, (2005:4) bahwa pernyataan ketiga dalam Sumpah Pemuda mengandung makna (1) pengutamaan bahasa Indonesia di atas kepentingan bahasa-bahasa lain, (2) memberikan hak hidup bagi bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia, dan (3) memberi peluang penggunaan bahasa asing untuk keperluan tertentu.

Sehubungan dengan kepemilikan dan penggunaan bahasa, di awal kemerdekaan, bangsa kita memiliki prinsip yang sama dengan bangsa Jepang karena bangsa kita telah berusaha memilih suatu bahasa dan menyampingkan bahasa Inggris dan bahasa-bahasa asing lain. Seperti yang diungkapkan oleh Otsuka bahwa pemakaian bahasa Inggris dengan tatabahasa yang sangat sederhana tidak mendapat tempat di hati masyarakat Jepang karena sebagian masyarakat Jepang berpandangan bahwa penggunaan bahasa Jepang dalam dunia pendidikan sangat penting dan mutlak untuk perkembangan sosial budaya masyarakat Jepang. Di samping itu, sebagian orang Jepang berasumsi bahwa tidak semua golongan kecil dalam tatanan sosial masyarakat Jepang akan dapat menikmati pendidikan karena mereka belum tentu mampu menguasai bahasa Inggris (lih. Imran, 2007 dalam situs Pikiran Rakyat). Hingga saat ini, bangsa Jepang masih kuat memegang prinsip itu. Hal itu terbukti dengan minimnya penggunaan bahasa asing di Jepang termasuk di tempat-tempat umum, sementara bangsa kita tidak sanggup menerjang imperialisme linguistik bangsa Eropa karena secara kultural, kita masih sering menggunakan bahasa Inggris dalam entitas imaterial dan ideologi, seperti sikap bahasa (lih. Alwasilah, 1997:9).
Sikap negatif kita terhadap bahasa Indonesia lambat laun memberikan kesulitan tersendiri bagi para guru dalam mengajarkan bahasa Indonesia karena kosakata yang tersimpan dalam otak peserta didik telah mengalami percampuran. Percampuran kosakata itu pada ahirnya menimbulkan interferensi terhadap bahasa Indonesia. Dengan demikian, tidaklah mengherankan apabila pengajaran bahasa Indonesia oleh banyak kalangan dianggap belum berhasil.

Berkaitan dengan keberhasilan pengajaran bahasa secara khusus dan untuk mendukung upaya pelestarian, pengembangan, dan pembinaan bahasa, kiranya sikap positif dalam diri pemilik dan penutur bahasa harus ditumbuhkembangkan dan direalisasikan dalam sikap berbahasa sesuai dengan aturan penggunaanya masing-masing. Hal ini dirasakan penting karena bahasa pada dasarnya merupakan kebiasaan layaknya adat dan budaya yang tumbuh dan berkembang seiring perjalanan waktu.

Berdasarkan uraian di atas, penggunaan bahasa Indonesia pada dasarnya bukan suatu kemunduran, melainkan penggunaan bahasa Indonesia khususnya di tempat-tempat umum merupakan suatu kemajuan karena orang yang bangga terhadap bahasanya adalah orang yang tidak mau tunduk pada imperialisme linguistik bangsa Eropa.